Selasa, 16 Agustus 2022

Darurat Perokok Anak dan Pentingnya Payung Hukum yang Kuat dalam Pengaturan Produk Tembakau

PERATURAN Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan perlu direvisi. Pasalnya, PP tersebut dinilai belum cukup efektif menurunkan jumlah perokok anak di negeri ini. Kita membutuhkan payung hukum yang kuat dalam soal pengaturan produk tembakau.

Hingga saat ini, Indonesia bisa dibilang masih menjadi surganya bagi para perokok. Betapa tidak. Produk rokok masih dapat diakses dengan mudah, bahkan oleh anak-anak sekalipun. 

Pelarangan rokok perlu diberlakukan di banyak tempat. Foto: Unsplash.

Merujuk pada data dari Gobal Tobacco Survey, seperti dikutip CNN Indonesia, hingga tahun 2021, perokok di Indonesia berjumlah 70 juta orang atau 34,5 persen dari total keseluruhan penduduk. Yang mengkhawatirkan yaitu prevalensi perokok anak di negara kita ternyata terus merangkak naik setiap tahunnya. Karenanya, tak berlebihan jika ada yang menilai bahwa saat ini Indonesia sedang menghadapi darurat perokok anak.

Pada tahun 2013, prevalensi perokok anak mencapai 7,20 persen. Agka tersebut kemudian naik menjadi 8,80 persen pada tahun 2016. Lantas, merambat lagi menjadi 10 persen pada tahun 2018, dan 10,70 persen pada tahun 2019. Jika tidak dilakukan langkah-langkah pencegahan, diperkirakan prevalensi perokok anak di Indonesia bakal meningkat hingga 16 persen di tahun 2030 mendatang. Ini cukup mengkhawatirkan. Jangan sampai darurat perokok anak ini kita biarkan.

Pemeritah Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mengurangi prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024 mendatang. Akankah pengurangan prevalensi perokok anak ini bakal terwujud?

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak adalah adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak dan demi terwujudnya anak Indonesia yang sehat, berkualitas, dan sejahtera, tentu saja pemerintah harus mampu melindungi anak-anak kita antara lain dari bahaya rokok. Banyak kajian telah menyimpulkan bahwa asap rokok memuat 7.000 senyawa kimia. Dari jumlah tersebut, 250 di antaranya adalah zat beracun serta 69 di antaranya pemicu kanker. 

Rokok membahayakan kesehatan. Ilustrasi diambil dari indonesiabaik.id.

Semakin muda seseorang menjadi perokok, maka semakin besar kemungkinan mengidap kanker, terutama kanker paru dan kanker tenggorokan. Merokok pada usia yang semakin muda juga memperbesar risiko asma, penyakit jantung, dan stroke di kemudian hari, gangguan gigi, mengurangi kebugaran fisik, terganggunya perkembangan otak dan fungsi kognitif. serta memperbesar risiko penggunaan zat-zat adiktif dan terlarang lainnya. 

Ditilik dari kaca mata ekonomi, hasil penghitungan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan mengungkapkan kerugian yang dialami pemerintah akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok bisa mencapai sepertiga Produk Domestik Bruto (PDB) dan seperlima dari total Anggaran Pendapatan Belanja negara (APBN), yakni sekitar Rp 4.180,27 triliun. 

Masih tingginya prevalensi perokok anak di negeri ini sangat boleh jadi disebabkan salah satu faktornya yaitu karena masih sangat mudahnya akses terhadap produk tembakau. Siapapun, termasuk anak-anak, dapat dengan mudah membeli rokok, etah itu di pedagang asong, warung atau kios di pinggir jalan hingga di mini-mini market. Di negara kita, rokok bahkan dapat dijual secara ketengan alias batangan. Orang dapat bebas membeli satu atau dua batang rokok.

Akses yang mudah terhadap rokok dibarengi pula dengan harga jual rokok yang relatif terjangkau. Meski pemerintah telah menaikkan tarif cukai rokok, toh jika dibandingkan dengan harga rokok di negara-negara lainnya, harga rokok di Indonesia masih lebih murah. Setidaknya itu menurut perhitungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 

Secara global, WHO mencatat rata-rata harga rokok mencapai 4 dollar AS (Rp 55.000) per bungkus. Adapun di Indonesia, rata-rata harga rokok per bungkus saat ini masih 2,1 dollar AS (Rp 29.000). Harga rokok di Indonesia bahkan sepuluh kali lebih murah jika dibandingkan dengan di Australia, yang mencapai 21 dollar AS (Rp 298.000) atau termahal di dunia (Kompas, 29/12/2021). 

Faktor lainnya yang diduga ikut menjadi biang kerok masih tingginya prevalensi perokok anak di negara kita yaitu masih gampangnya produsen rokok melakukan promosi. Promosi rokok, baik terang-terangan maupun terselubung, dengan gampang bisa ditemui di ruang-ruang publik maupun di media kita, baik media konvensional maupun media online. Begitu juga dengan program sponsorship yang melibatkan produk rokok. 

Aktivis gelar kampanye stop iklan rokok. Foto: PJ Leo/Jakarta Post.

Perlu payung hukum yang kuat

Keberadaan payung hukum yang kuat multak diperlukan untuk melindungi anak-anak kita, generasi penerus bangsa dan negara ini, dari paparan bahaya tembakau. 

Saat ini, kita sesungguhnya telah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. 

Terbitnya PP 109 ini untuk melaksanakan ketentuan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Dalam Pasal 2 ayat (1) PP 109 disebutkan bahwa penyelenggaraan pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

Adapun ayat (2) pada Pasal yag sama menyebutkan penyelenggaraan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk antara lain: (a) melindungi kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan dari bahaya bahan yang mengandung karsinogen dan zat adiktif dalam produk tembakau yang dapat menyebabkan penyakit, kematian, dan menurunkan kualitas hidup; serta (b) melindungi penduduk usia produktif, anak, remaja, dan perempuan hamil dari dorongan lingkungan dan pengaruh iklan dan promosi untuk inisiasi penggunaan dan ketergantungan terhadap bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau.

Kendati tujuan PP 109 ini sangat mulia, toh banyak kalangan menilai PP ini telah out of date alias ketinggalan zaman, sehingga perlu sekali dilakukan revisi. Salah satunya yang perlu direvisi yaitu yang menyangkut soal iklan tembakau. Dalam PP 109, iklan produk tembakau hanya dikendalikan. Sama sekali tidak dilarang. Padahal, semestinya dilarang. 

Seluruh negara ASEAN saat ini telah melarang total iklan tembakau di media cetak, televisi, radio dan film, kecuali Indonesia. Selain itu, lebih dari setengah negara ASEAN, meliputi Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam telah melarang total iklan tembakau di titik-titik penjualan. 

Di Thailand, misalnya, kios-kios di sana sama sekali tidak memajang rokok secara bebas. Selain itu, hanya orang dewasa yang boleh membeli rokok. Itupun wajib menunjukkan identitas, dan rak penyimpanan rokok selalu tertutup. Di Negara Gajah Putih itu, kios-kios yang berada di dekat sekolah, rumah ibadah, rumah sakit, dan instalasi umum dilarang keras menjual rokok.

Bagaimana dengan Indonesia? Seperti telah dipaparkan di muka, akses terhadap produk tembakau demikian mudah. Siapapun, termasuk anak-anak, dapat membeli rokok, entah itu di pedagang asong, warung atau kios-kios pinggir jalan hingga di mini market. Di negara kita, rokok bahkan dapat dijual secara ketengan alias batangan. Padahal, semestinya diatur pula bahwa penjualan rokok tidak boleh dilakukan secara ketengan. Di sinilah antara lain perlunya pula revisi PP 109.

Webinar Prevalensi Perokok Anak oleh Yayasan Lentera Anak.

Hal lainnya yang membuat PP 109 perlu direvisi adalah yang menyangkut soal rokok elektrik alias vape. Berkat kemajuan teknologi, saat ini telah berkembang produk rokok elektrik. Nah, PP 109 sama sekali belum mengatur soal ini. Padahal, mengingat bahaya yang ditimbulkannya sama seperti rokok konvensional, aturan mengenai rokok elektrik sudah selayaknya masuk dalam PP 109.

Beberapa negara telah mengatur soal rokok elektrik. Contohnya, di Kanada, rokok elektrik tak diperbolehkan dikonsumsi oleh orang yang berusia di bawah 19 tahun. Adapun di beberapa negara, mengisap rokok elektrik diizinkan tetapi tidak boleh dilakukan di tempat umum.

Mengingat masih lemahnya payung hukum yang melindungi anak-anak kita dari bahaya tembakau, maka revisi PP 109 mendesak segera dilakukan. Publik perlu terus bersuara agar pemerintah segera merevisi PP 109 tersebut.

Anak adalah aset paling berharga bagi bangsa dan negara ini. Masa depan bangsa dan negara kita turut ditentukan oleh kualitas kesehatan anak-anak kita sejak dini. Darurat perokok anak harus kita sudahi. Kita mungkin masih ingat tema Hari Anak Nasional 2022 yakni “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Tema ini tentu bukan hanya untuk pemanis bibir. Namun, harus bisa diwujudkan menjadi sebuah realita. 

Dalam upaya melindungi anak-anak Indonesia inilah, kita membutuhkan payung hukum yang benar-benar kuat dalam mengatur produk-produk tembakau. Dengan begitu, komitmen pemerintah kita yang menargetkan penurunan jumlah perokok usia 10-18 tahun dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen di tahun 2024 dapat benar-benar terwujud.***

--

Sumber rujukan:

1) Arditho Ramadhan & Krisiandi. 2022. PP 109/2012 Dinilai Perlu Direvisi karena Gagal Lindungi Anak dari Rokok.

2) CNN Indonesia. 2019. Negara-negara di Dunia yang Melarang Vape. 

3) CNN INdonesia. 2022. Jumlah Perokok Dewasa di Indonesia Bertambah 8,8 Juta Selama 10 Tahun.

4) Dewanto Samodro & Ade P Marboen. 2017. ASEAN Larang Iklan Rokok Kecuali Indonesia.

5 Martha Warta Silaban. 2019. Hasil Litbang: Kerugian Pemerintah Akibat Rokok Rp 4.180 T.

6) National Cancer Institute. 2017. What Harmful Chemicals Does Tobacco Smoke Contain?

7) Rokom. 2022. Perokok Anak Masih Banyak, Revisi PP Tembakau Diperlukan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RISET DAN INOVASI

Mahasiswa UNAIR Ciptakan Inovasi untuk Pencegahan dan Pengendalian Diabetes   Tim mahasiswa Universitas Airlangga [UNAIR], Surabaya, Jawa T...