JUDUL BUKU: Kompas: Menjadi Perkasa Karena Kata -- Sebuah Sharing 35 Tahun Bersama Kompas.
PENULIS: Mamak Sutamat.
PENERBIT: Galangpress, 2012.
CETAKAN: Pertama.
TEBAL: viii + 248 halaman.
ISBN: 978-602-8174-67-1.
PERJALANAN satu mil diawali oleh sebuah langkah kecil. Begitu bunyi sebuah pepatah Tiongkok kuna.
Pepatah tersebut tampaknya layak untuk menggambarkan perjalanan harian Kompas yang awalnya terbit dengan modal pas-pasan dan sebagian peralatannya meminjam, namun kemudian menjelma menjadi sebuah koran nasional yang berwibawa dan disegani dengan sejumlah anak perusahaannya yang dikenal dengan sebutan Kelompok Kompas-Gramedia (KKG).
Adakah rahasia khusus di balik kesuksesan Kompas atau itu cuma kebetulan dan nasib mujur para pendirinya saja?
Menilik sejarahnya, harian Kompas diterbitkan dengan semangat perlawanan terhadap pers komunis yang waktu itu dimotori oleh Harian Rakyat dan sempat menguasai jagat persuratkabaran Indonesia dengan capaian tiras sebanyak 100.000 ekspemplar.
Adalah Letjen Ahmad Yani, Menteri/Panglima TNI AD yang melemparkan gagasan untuk menerbitkan sebuah koran baru guna melawan dominasi Harian Rakyat. Maka, awal tahun 1965, Letjen Ahmad Yani menghubungi rekan sekabinetnya, Frans Seda, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perkebunan.
Frans Seda lantas membicarakan gagasan Ahmad Yani itu dengan ketua Partai Katolik, Ignatius Josef Kasimo. Ikut dalam pembicaran adalah Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama -- keduanya dianggap telah berpengalaman menerbitkan media cetak. Saat itu, Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama mengelola majalah Intisari dan Penabur.
Langkah awal untuk menerbitkan Kompas adalah dengan membentuk Yayasan Bentara Rakyat, 16 Januari 1965, di Notaris FJ Mawati, Jakarta. Modal dasarnya, sesuai akta, Rp 100.000. Pendirinya, selain pemimpin puncak Partai Katolik, juga semua pemimpin organisasi di bawahnya yang terdiri dari IJ Kasimo (ketua), Frans Seda (wakil ketua), FC Palaunsuka (sekretaris), Jakob Oetama (sekretaris II) dan PK Ojong (bendahara). Dalam operasionalnya, PK Ojong dan Jakob Oetama mendapat otonomi penuh sebagai pengelola koran yang bakal terbit itu.
Asal-muasal
Lantas, dari mana asal-muasal nama Kompas? Awalnya, koran yang bakal diterbitkan itu akan diberi nama Bentara Rakyat. Menurut Frans Seda, ada dua alasan mengapa dinamai Bentara Rakyat. Pertama, nama ini diilhami dari sebuah mingguan yang terbit di Flores tahun 1946-1958, Bentara Katolik, yang juga menerbitkan Anak Bentara. Kedua, saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menerbitkan koran Harian Rakyat dengan jumlah pembaca yang sangat besar. Dengan melibatkan kata 'rakyat', dalam hemat Frans Seda, selain ciri Katolik-nya jadi tersamar, juga ingin menunjukkan bahwa kata itu bukan monopoli PKI. Maklum, saat itu PKI senantiasa membawa-bawa nama rakyat dalam perjuangan mereka.
Nah, nama Kompas baru didapat tatkala Frans Seda menghadap Bung Karno untuk melaporkan kesiapan penerbitan koran. Tatkala mendengar nama Bentara Rakyat yang disusulkan, Bung Karno langsung menimpali, "Aku akan memberi nama yang lebih bagus: Kompas. Tahu toh apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan rimba.”
Usul dari Bung Karno tersebut ternyata disepakatai dan diterima oleh para pengurus Yayasan Bentara Rakyat serta jajaran redaksi. Dan resmilah nama Kompas dipakai untuk surat kabar yang kini bermotto "Amanat Hati Nurani Rakyat" ini.
Harian Kompas edisi pertama terbit hanya empat halaman. Berita utama di halaman satu bertajuk KAA II Ditunda Empat Bulan. Di halaman pertama pojok kiri atas tertulis nama-nama para pengelolanya. Pemimpin redaksi: Drs. Jakob Oetama. Staf redaksi: Drs.J Adisubrata, Lie Hwat Nio SH, Marcel Beding, TH Susilastuti, Tan Soei Sing, J Lambangdjaja, Tan TIk Hong, Th Ponis Purba, Toinon Prabowo dan Eduard Liem.
Melihat tampilan wajah Kompas edisi perdana, tidak ada seorang pun awak surat kabar ini yang merasa optimistik korannya bakal berusia panjang, apalagi menjadi koran nasional dan memiliki banyak anak perusahaan. Dibandingkan dengan tampilan surat kabar lainnya saat itu, wajah Kompas kalah bersaing.
Lewat bukunya bertajuk "Kompas: Menjadi Perkasa Karena Kata -- Sebuah Sharing 35 Tahun Bersama Kompas", Mamak Sutamat, yang selama 35 tahun mengabdi sekaligus melakoni suka dan dukanya bersama Kompas, menyatakan bahwa kegigihan dan semangat para pendiri serta pemula koran ini yang menjadikan Kompas bisa bertahan hidup dan bahkan berkembang.
Apa yang diungkapkan Mamak Sutamat itu bisa jadi benar. Namun, bisa jadi pula kegigihan dan semangat bukan satu-satunya faktor yang menjadikan Kompas bisa seperti saat ini.
Dalam karyanya bertajuk "Strategic Newspaper Management", Conrad C Fink menyebutkan ada tiga fondasi yang mesti dibangun oleh pengelola penerbitan koran jika ingin maju dan berkembang dengan sehat. Ketiga fondasi itu adalah memahami industri bersangkutan (understanding your industry), memahami pasar (understanding your market) dan memahami pesaing (understanding your competitors).
Pada tataran yang lebih praktis, Conrad C Fink menyebutkan sejumlah elemen penting yang perlu dikuasai oleh para pengelola bisnis penerbitan koran agar bisnisnya maju dan berkembang dengan baik. Sejumlah elemen itu adalah sumber daya manusia (human resourses), sirkulasi (circulation), periklanan (advertising), citra dan promosi (image and promotion) serta produksi dan teknologi baru (production and new technology).
Tiga fondasi dan sejumlah elemen penting itu pada akhirnya harus diarahkan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan khalayak pembaca (readers), pengiklan (advertisers) dan awak dari penerbitan koran itu sendiri (employees).
Untuk membangun ketiga fondasi sekaligus menguasai sejumlah elemen penting seperti dipaparkan tersebut memang tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan. Meskipun demikian, para pengelola Kompas tampaknya telah berhasil membangun dan menguasai ketiga fondasi itu berserta elemen-elemennya. Hasilnya, selain menjadi sebuah media terkemuka, Kompas juga menjelma menjadi sebuah multi-korporasi dengan puluhan unit usaha dengan ribuan karyawan.
Pertanyaannya kemudian adalah: sebagai sebuah koran cetak, dapatkah Kompas bisa terus bertahan -- katakanlah higga akhir zaman?
Sebagian kalangan berpendapat, surat kabar dewasa ini sedang memasuki siklus tahap akhir kehidupannya. Tidak lama lagi surat kabar akan menemui kematiannya. Secara umum, orang semakin enggan saja membaca surat kabar. Jadi, lonceng kematian suratkabar mungkin tinggal menunggu waktu.
Mengutip pendapat jurnalis senior, yang juga pernah bergabung dengan Kompas, Budiarto Shambazy, Mamak Sutamat menulis bahwa Kompas masih bisa bertahan minimal hingga tahun 2050. Itu pun dengan syarat koran ini harus menjadi “koran butik”, yaitu koran yang hanya memuat berita-berita multidimensional dan mendalam, tulisan khas (features) berdampak kemanusiaan, analisis berita yang dijadikan kiblat bagi publik dan visualisasi yang berselera tidak murahan.
Menurut Mamak Sutamat, kalau pun pada akhirnya Kompas sebagai sebuah media cetak harus menemui ajalnya, toh bisnis-bisnis yang lainnya dalam naungan KKG akan tetap berjalan karena sudah menggurita.(djk)
Tampilkan postingan dengan label harian rakyat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label harian rakyat. Tampilkan semua postingan
Langganan:
Postingan (Atom)
PAJAK MINUMAN BERPEMANIS
Mendorong Pilihan Hidup Sehat Melalui Pajak MBDK SEKTOR pajak dapat turut berkontribusi dalam mendorong terwujudnya masyarakat yang lebih se...
-
GENERASI kelima teknologi internet nirkabel, atau yang lebih populer disebut 5G, tak pelak akan menjadi standard global dan sekaligus mendor...
-
JUDUL BUKU: Kompas: Menjadi Perkasa Karena Kata -- Sebuah Sharing 35 Tahun Bersama Kompas. PENULIS: Mamak Sutamat. PENERBIT: Galangpres...
-
JUDUL BUKU: Wow...Aku Bisa Seperti Einstein! (Bertualang dalam Permainan Sains yang Mengasyikkan). PENULIS: Sulaiman & Antonius Ari Sud...