Minggu, 23 Februari 2020

Memahami Jawa, Memahami Indonesia

JUDUL BUKU: Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang jawa -- Kelangsungan dan Perubahan Kulturil.
PENULIS: Niels Mulder.
PENTERJEMAH: Alois A Nugroho.
PENERBIT: Gramedia, Jakarta.
TAHUN: 1984.
TEBAL: 159 halaman + xxiv

JAWA sampai kini adalah pusat politik Indonesia. Pulau ini merupakan kampung halaman etnis paling besar serta paling sophisticated dan boleh jadi paling berpengaruh di antara penduduk Indonesia.

Untuk memahami politik Indonesia, untuk memahami kepemimpinan di Indonesia, setidaknya kita mesti memahami kultur Jawa, memahami cara berpikir dan rasionalitas orang Jawa.

Nah, buku karya Niels Mulder ini dapat menjadi salah satu rujukan untuk memahami kultur Jawa dan memahami cara berpikir serta rasionalitas orang Jawa pada umumnya.

Buku ini sendiri adalah hasil terjemahan dari Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java: Cultural Persistence and Change, yang diterbitkan pertama kalli oleh Singapore University Press.

Ada tujuh topik besar yang dikupas dalam buku setebal 159 halaman ini. Yaitu Kebangkitan Mistik Kebatinan Dewasa Ini (Bab 1), Pandangan Dunia Kebatinan (2), Praktik Mistik kebatinan (3), Etika Kebatinan dan Sikap terhadap Hidup (4), Kehidupan Sehari-hari dalam Perubahan Tata Moral - Perspektif Sosial (5), Kehidupan Sehari-hari dalam Perubahan Tata Moral - Perspektif Materil dan Struktur Bermakna dari Pengalaman Kejawaan (7).

Untuk menyusun buku ini, Mulder melakukan penelitian lapangan dengan bermukim di Yogyakarta, antara Mei 1969 hingga Agustus 1970. Menurut Mulder, dipilihnya Yogyakarta sebagai tempat riset karena Yogyakarta lebih benar-benar Jawa dibanding tempat-tempat lainnya.

Mulder menambahkan, dalam anggapan banyak orang Indonesia, Yogyakarta adalah pusat kebudayaan Jawa dan orang-orang Yogya sendiri sering dengan bangga menyebut kota mereka sebagai Kota Kebudayaan.

"Yogya, dan daerah di sekitarnya, merupakan pusat terpenting dari inspirasi mistik di Indonesia, dengan Sultan yang berkuasa dan dua keraton yang berdwifungsi, di mana gagasan-gagasan kejawaan barangkali paling jelas terungkap," tulis Mulder.(djk)

Kamis, 13 Februari 2020

Yon Koeswoyo: Aku Ingin Menghapus Kenangan

Koes Plus dan Koes Bersaudara merupakan pelopor musik rock Indonesia
JUDUL BUKU: Panggung Kehidupan Yon Koeswoyo.
PENULIS: Yon Koeswoyo.
PENYUNTING: M Ch Amien dan Isdiyanto.
DISAIN SAMPUL: Noor Fajar.
PENERBIT: Candra Awe Selaras, Jakarta.
CETAKAN: pertama, Januari 2005.
TEBAL: 175 halaman + Viii.

YON Koeswoyo (1940-2018) identik dengan Koes Bersaudara dan Koes Plus. Di kedua band itu, posisi Yon tetap sama. Yakni sebagai vokalis utama dan juga pemain gitar rhythm.

Meski memiliki keturunan darah biru, Yon, bersama beberapa saudaranya (Tony, Nomo dan Yok), memilih jalan kehidupan yang tidak mriyayi. Mereka lebih suka kencrengan, main musik dan menyanyi.

Buku setebal 157 halaman ini hanyalah potret kecil yang merekam perjalanan pribadi Yon, yang bernama asli Koesyono ini, mulai masa kecilnya di Tuban, Jawa Timur, hingga ke Jakarta tatkala ia menekuni dunia kesenimanannya bersama saudara-saudaranya.

Menurut Yon, buku ini cuma sekelumit kisah dan renungan hidup, sebagai ungkapan rasa syukur atas segala pelajaran hidup yang dilimpahkan oleh-Nya.

Tentu saja, dalam buku ini, tak ketinggalan Yon memaparkan latar belakang di balik sejumlah karya lagunya. Salah satunya yaitu lagu bertajuk Biarlah Berlalu, yang dirilis tahun 1969, dan terdapat pada album pertama Koes Plus.

"Maksudku dalam lagu ini, aku ingin menghapus kenangan sewaktu band masih bernama Koes Bersaudara, yang sempat porak-poranda," tulis Yon.

Selain menyabit-nyabit soal perjalanan kelompok Koes Bersaudara dan Koes Plus, dalam bukunya ini, Yon juga menuliskan sejumlah hal yang terkait dengan kehidupan pribadinya. Seperti saat ia kecil di Tuban, masa-masa puber hingga ke soal prahara rumahtangganya.(djk)

Jumat, 07 Februari 2020

Mengkaji Komunikasi lewat Metode Kualitatif

JUDUL BUKU: Penelitian Komunikasi Kualitatif.
PENULIS: Pawito, Ph.D.
PENERBIT: LKiS, Yogyakarta, 2007.
TEBAL: 308 halaman.

BISA dikatakan, komunikasi telah menjadi panglima kehidupan dewasa ini. Manusia sudah sangat bergantung pada bentukan komunikasi. Tidak ada satu pun bagian kehidupan manusia yang tidak lepas dari komunikasi. Karenanya, bidang-bidang komunikasi seperti komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi massa serta komunikasi budaya menjadi menarik untuk terus dikaji.

Kajian mengenai komunikasi sendiri bersifat lintas disiplin ilmu (interdiciplinary) lantaran aktivitas komunikasi pada kenyataannya telah merambah semua ranah kehidupan seperti psikologi, sosial, politik, ekonomi, seni-budaya, sejarah, etika, estetika dan filsafat.

Sifat lintas disiplin ilmu ini pada gilirannya memunculkan pendekatan yang berbeda-beda dalam kajian komunikasi. Sejauh ini paling tidak terdapat tujuh pendekatan kajian komunikasi yaitu retorika, semiotika, fenomenologis, kibernetik, sosiopsikologik, sosiokultural dan kritik.

Persoalannya, pendekatan yang dipilih dalam melakukan kajian komunikasi membawa konsekwensi pada penetapan bentuk metode kajian, yaitu apakah menggunakan kajian komunikasi kuantitatif atau menggunakan kajian komunikasi kualitatif.

Menurut Pawito, Ph.D, yang menulis buku bertajuk “Penelitian Komunikasi Kualitatif” ini, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara penelitian komunikasi kuantitatif dan penelitian komunikasi kualitatif. Beberapa perbedaan itu antara lain:

Pertama, penelitian kuantitatif  berorientasi pada varibel-varibel tertentu, sementara pada penelitian kualitatif berorientasi pada kasus dan konteks.

Kedua, penelitian kuantitatif bertujuan untuk menjelaskan, memprediksi dan mengontrol gejala serta menguji teori, sedangkan penelitian kualitatif bertujuan untuk memberikan gambaran atau pemahaman mengenai gejala atau membuat teori.

Ketiga, penelitian kuantitatif cenderung bersifat linear dan kaku dengan berangkat dari kategorisasi yang digunakan, sementara penelitian kualitatif bersifat siklis dan fleksibel serta sangat memerhatikan konteks yang ada bertalian dengan kategori-kategori yang digunakan.

Keempat, prosedur penelitian kuantitatif bersifat rigid, objektif dan menggunakan kaidah etik, sedangkan prosedur penelitian kualitatif kerap bersifat eklektik, subjektif dan cenderung interpretatif.

Selaras dengan judulnya, sudah barang tentu, buku mungil karya Pawito ini menguraikan segala hal yang terkait dengan penelitian komunikasi kualitatif. Lewat buku setebal 308 halaman dan terdiri dari empat bab ini, Pawito, yang juga adalah dosen pada  Jurusan Ilmu Komunikasi dan Program Pascasarjana Fisip Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pertama-tama memaparkan ihwal apa sesungguhnya kajian komunikasi kualitatif, kemudian bagaimana kita melakukan penelitian komunikasi kualitatif serta bagaimana menerapkan penelitian kualitatif tersebut.

Selain itu, di buku ini diuraikan pula antara lain bagaimana kita harus menyusun topik penelitian, membuat rancangan penelitian, membuat kajian pustaka hingga menetapkan metodologi penelitian.

Untuk melengkapi paparannya, Pawito menyodorkan beberapa contoh penelitian kualitatif yang pernah dilakukannya sehingga pembaca buku dapat melihat secara jelas bagaimana persisnya penelitian kualitatif tersebut diterapkan.

Meski agak berat, secara keseluruhan, isi buku terbitan LKiS Yogyakarta ini layak sekali dibaca oleh mereka yang menaruh minat pada kajian komunikasi, khususnya yang terkait dengan kajian berbagai fenomena komunikasi dengan menggunakan penelitian komunikasi kualitatif.(djk)

Memahami Agroekosistem Tatar Sunda

Berdasarkan sejumlah catatan tertulis, sistem sawah muncul pertama kali di daerah Sumedang dan lantas meluas ke daerah dataran rendah Bandung yakni di sekitar kawasan Rancaekek.

JUDUL BUKU: Agroekosistem Orang Sunda.
PENULIS: Johan Iskandar dan Budiwati S Iskandar.
PENERBIT: Kiblat Buku Utama, Bandung.
CETAKAN: pertama, Desember 2011.
TEBAL: 246 halaman.

DITILIK dari lokasinya, kawasan Tatar Sunda di masa silam meliputi seluruh wilayah di bagian barat Pulau Jawa. Namun, sejak awal tahun 2000-an, kawasan barat Jawa Barat yang berbatasan dengan kawasan Bogor ke arah barat sampai ujung Pulau Jawa bagian barat yang bagian selatannya dibatasi oleh Lautan Hindia dan bagian utaranya dibatasi oleh Laut Jawa, secara administratif dijadikan sebuah provinsi baru, yaitu Provinsi Banten. Etnis Sunda sendiri termasuk salah satu etnis terbesar kedua di Indonesia setelah etnis Jawa.

Di masa lalu, rumah-rumah orang Sunda senantiasa memberi kesan seakan-akan setiap waktu mereka akan berpindah ke tempat lain, seperti layaknya orang-orang nomad (Adiwilaga, 1975). Kecenderungan sifat untuk nomaden orang Sunda ini berkait erat dengan mata pencaharian utama mereka di masa lampau yaitu sebagai peladang berpindah-pindah.

Patut dicatat, hingga tahun 1750, orang Sunda sama sekali tidak mengenal cara bercocok tanam padi melalui sistem sawah. Barulah setelah orang-orang Jawa datang ke Tatar Sunda dan mengenalkan sistem sawah, maka lambat laun orang Sunda mulai mempraktikkan bercocok tanam padi melalui sistem sawah.

Berdasarkan sejumlah catatan tertulis, sistem sawah muncul pertama kali di daerah Sumedang dan lantas meluas ke daerah dataran rendah Bandung yakni di sekitar kawasan Rancaekek.

Pada perkembangan selanjutnya, dari dua sistem bercocok tanam padi tersebut kemudian lahirlah sistem-sistem bercocok tanam lainnya yaitu sistem talun-kebun, sistem kebun-sayur dan sistem pekarangan. Semua sistem tersebut akhirnya membentuk sebuah kesatuan yang saling menunjang dan menjadikan sistem usaha tani masyarakat Sunda sangat unik dan khas.

Keunikan dan kekhasan sistem usaha tani masyarakat Sunda inilah yang coba diuraikan dan dianalisis oleh Johan Iskandar dan Budiwati S Iskandar  lewat karyanya bertajuk "Agroekosistem Orang Sunda".

Secara umum, agroekosistem merujuk kepada sebuah sistem usaha tani yang dipengaruhi oleh sistem ekologi, sistem ekonomi, sistem sosial serta sistem budaya yang kompleks.

Terdapat lima bab khusus dalam buku setebal 246 halaman ini yang secara rinci mengupas soal agroekosistem yang terdapat dalam masyarakat Sunda, yaitu mulai dari sistem agroekosistem ladang, agroekosistem sawah, agroekosistem talun-kebun, agroekosistem kebun-sayur dan agroekosistem pekarangan. Tiga bab lainnya mengupas soal kaitan antara agroekosistem dan etnopertanian, bagaimana orang Sunda berinteraksi dengan lingkungannya serta perubahan dan masa depan agroekosistem masyarakat Sunda.

Barangkali salah satu kekuatan buku ini adalah penyusunannya yang tidak hanya bersandar pada kajian kepustakaan semata, melainkan juga bersandar pada hasil sejumlah kajian langsung penulis buku ini di lapangan.

Sebagaimana diketahui, baik Johan Iskandar maupun Budiwati S Iskandar, selain mengajar di perguruan tinggi, juga banyak terlibat dalam berbagai penelitian seputar masalah pertanian dan antropologi.

Dalam kondisi langkanya buku-buku tentang agroekosistem di negeri ini, buku terbitan Kiblat Buku Utama ini bisa menjadi salah satu rujukan penting bagi para akademisi, pengambil kebijakan maupun masyarakat umum untuk memahami ihwal beberapa aspek sejarah perkembangan sistem usaha tani dan praktik-praktik usaha tani orang Sunda.(djk)

RISET DAN INOVASI

Mahasiswa UNAIR Ciptakan Inovasi untuk Pencegahan dan Pengendalian Diabetes   Tim mahasiswa Universitas Airlangga [UNAIR], Surabaya, Jawa T...