Minggu, 08 Desember 2019

Melawan Horor Kemacetan

JUDUL BUKU: Bergerak Tak Berasap.
PENYUSUN: Komunitas Bandung Menulis.
PENYUNTING: Anna Farida.
CETAKAN: I, Januari 2019.
PENERBIT: Nuansa, Bandung.
TEBAL: 117 halaman.

KOTA yang sehat, keren dan humanis adalah kota di mana sebagian besar warganya memilih berjalan kaki atau bersepeda. Sayang, alih-alih menjadi kota yang disesaki pesepeda dan pejalan kaki, kota-kota di negeri ini malah kian disesaki kendaraan bermotor.

Buntutnya, kota-kota kita nyaris setiap hari dirundung horor kemacacetan lalu-lintas. Dan membiarkan horor kemacetan berarti membiarkan terjadinya kerugian yang lebih besar lagi. Seperti kita ketahui, kemacetan lalu lintas menjadikan polusi udara makin meningkat dan ini berisiko meningkatkan penyakit pernafasan, penyakit jantung, penyakit paru-paru dan penurunan kecerdasan. Indonesia sendiri, seperti pernah dilaporkan Bloomberg, saat ini menduduki peringkat ke-8 sebagai negara dengan tingkat pencemaran udara paling parah di seluruh dunia.

Secara sederhana, kemacetan terjadi lantaran panjang serta lebar jalan tidak seimbang dengan jumlah kendaraan. Logikanya, cara paling gampang untuk mengatasi kemacetan adalah dengan menambah panjang jalan dan lebar jalan yang ada. Akan tetapi, menambah panjang dan lebar jalan tidak selalu bisa dilakukan. Yang paling mungkin adalah membuat jalan baru, seperti dengan membuat jalan tol di dalam kota.

Sampai batas tertentu, membangun jalan tol dalam kota memang dapat mengatasi kemacetan lalu-lintas. Akan tetapi, kebijakan seperti ini cuma mengatasi kemacetan untuk sementara waktu jika tidak disertai dengan upaya-upaya lainnya, mulai dari membenahi manajemen transportasi, pengadaan transportasi massal yang murah, nyaman serta aman, pembatasan jumlah kendaraan bermotor hingga ke pendidikan disiplin berlalu-lintas warga kota serta pengubahan gaya hidup.

Sejatinya, salah satu upaya penting dalam mengupayakan pemecahan masalah kemacetan di negeri ini adalah bagaimana mengubah gaya hidup masyarakat. Gaya hidup masyarakat harus diarahkan kepada gaya hidup yang bersahaja dan lebih ramah lingkungan.

Lihat saja, masyarakat kita sekarang ini cenderung lebih memilih menggunakan kendaraan bermotor untuk bepergian dari dan ke satu tempat yang nota bene jaraknya tidak terlalu jauh. Padahal, untuk mencapai tujuan yang jaraknya kurang dari dua kilometer, kita bisa tempuh dengan cara berjalan kaki. Sementara untuk tujuan dengan jarak kurang dari duapuluh kilometer, kita dapat tempuh dengan menggunakan sepeda.

Sebagian dari kita mungkin saja begitu getol mengeluhkan soal kemacetan lalu-lintas. Ironinya, tidak sedikit dari mereka yang mengeluhkan soal kemacetan itu nyaris saban hari kemana-mana menggunakan kendaraan bermotor pribadi. Dengan demikian, mereka mengeluh, tetapi sesungguhnya mereka sendiri adalah bagian dari masalah yang mereka keluhkan.

Maka, untuk ikut mengatasi kemacetan yang membuat lingkungan kita semakin tidak sehat, kita bisa mulai dari diri kita sendiri. Kita bisa menjadi pahlawan bagi lingkungan kita. Caranya cukup dengan mulai membiasakan untuk lebih sering menggunakan transportasi publik daripada menggunakan kendaraan pribadi. Untuk menempuh jarak yang tidak terlalu jauh, kita cukup berjalan kaki atau mengayuh sepeda.

Taruhlah, separuh dari karyawan, separuh dari mahasiswa dan separuh dari pelajar yang ada di kota-kota besar di negeri ini mau berjalan kaki dan atau mengayuh sepeda untuk menjangkau tempat-tempat tujuan mereka yang tidak terlalu jauh, niscaya ini akan memberi kontribusi berarti bagi pengurangan tingkat kemacetan dan pencemaran udara di kawasan ini.

Realitanya, jumlah warga yang memilih untuk berjalan kaki ataupun bersepeda di negeri ini boleh dibilang masih minoritas. Atas dasar kenyataan itulah, buku bertajuk Bergerak Tak Berasap yang disusun oleh Komunitas Bandung Menulis ini diluncurkan. Buku yang ditulis secara keroyokan ini berupaya mengajak dan memotivasi khalayak -- siapa pun mereka -- untuk memilih lebih banyak berjalan kaki serta mengayuh sepeda.

Di buku setebal 117 halaman ini, seluruhnya ada 36 tulisan yang ditulis oleh orang-orang yang berbeda, baik dari segi usia, profesi maupun latar belakang pendidikannya. Mereka disatukan dengan keyakinan dan pengalaman yang sama bahwa jalan kaki dan naik sepeda bukan saja bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi lingkungan kita. Mereka memilih langkah kecil, namun sangat berarti, dalam upaya mereka agar tidak ikut menjadi pihak yang ikut menyumbang bagi kemacetan. Nah, bagaimana dengan Anda? Apakah Anda ingin menjadi bagian dari solusi kemacetan, atau tetap menjadi bagian dari masalah kemacetan itu sendiri? Tentu, keputusan sepenuhnya ada di tangan Anda.(djk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RISET DAN INOVASI

Mahasiswa UNAIR Ciptakan Inovasi untuk Pencegahan dan Pengendalian Diabetes   Tim mahasiswa Universitas Airlangga [UNAIR], Surabaya, Jawa T...