Kamis, 20 Oktober 2022

Pentingnya Meruntuhkan Mitos Kusta

Hidup kita dikelilingi oleh mitos, termasuk mitos-mitos yang terkait dengan penyakit-penyakit tertentu. Padahal, mitos lebih banyak ketidakbenarannya dan ketidakakuratannya. Meski demikian, hingga detik ini, tidak bisa dimungkiri masih banyak orang percaya kepada mitos. 

Penderita kusta. Foto: journals.plos.org.

Ambil contoh, dalam soal penyakit kusta. Sampai sekarang, masih banyak orang yang termakan mitos terkait kusta. Apa saja mitos-mitos itu dan seperti apa fakta yang sebenarnya? Yuk, kita sama-sama cermati!

Penyakit kuna

Kusta atau lepra adalah salah satu penyakit yang telah cukup tua usianya. Esiklopedia daring Britanicca menyebut bahwa penyakit ini diyakini berasal dari anak benua India dengan merujuk pada kerangka manusia berusia 4.000 tahun yang ditemukan di India pada tahun 2009. Kerangka itu ditemukan memiliki pola erosi yang serupa dengan yang ditemukan pada kerangka penderita kusta di Eropa yang berasal dari Abad Pertengahan. 

Dari penemuan tersebut, pakar meyakini bahwa kusta sudah ada di India pada tahun 2000 SM, dan ini sejalan dengan apa yang diduga sebagai referensi tekstual pertama tentang kusta dalam sebuah karya berbahasa Sansekerta kuna yang dikenal sebagai Atharvaveda.

Meski tergolong penyakit kuna, tak berarti kusta telah benar-benar lenyap dari muka Bumi kita. Setiap tahun, ribuan pria, wanita, dan anak-anak di seluruh dunia masih terserang dan mengidap penyakit ini.

India merupakan negara dengan kasus kusta terbanyak di dunia. Hingga tahun 2021, kasus kusta di India mencapai 75.394 yang menyumbang 53,64% dari kasus kusta dunia. Setelah India, menyusul Brasil di peringkat kedua, dengan 1.8318 kasus, dan Indonesia di peringkat ketiga, dengan kasus kusta sebanyak 1.0976 .

Berdasarkan perhitungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), total kasus kusta di dunia pada tahun 2021 lalu adalah 140.546. WHO sendiri menargetkan zero leprosy pada 2030, yang mencakup nol infeksi dan nol penyakit, nol kecacatan, nol stigma, dan nol diskriminasi.

Biang penyebab kusta Mycobacterium leprae. Bakteri ini berkembang biak dengan lambat dan masa inkubasi penyakit rata-rata adalah lima tahun. Gejala dapat terjadi dalam satu tahun, tetapi juga dapat berlangsung selama 20 tahun atau bahkan lebih.

Bakteri kusta menular dari satu orang ke orang lainnya melalui percikan cairan dari saluran pernapasan (droplet), yaitu ludah atau dahak, yang keluar saat batuk atau bersin.

Menurut dr. Nanny Shoraya, Sp.KK, FINSDV, tanda dan gejala yang sering dijumpai pada penyakit kusta, antara lain terdapat lesi kulit berupa hipopigmentasi (bercak putih), hiperpigmentasi (bercak kecoklatan-kehitaman) atau bercak kemerahan, mati rasa di area kulit tertentu, kulit terlihat kering, kaku dan tidak berkeringat, muncul luka tapi tidak terasa sakit, otot melemah (terutama otot kaki dan tangan) serta dapat terjadi gangguan penglihatan yang dapat berujung kebutaan. 

Masalah stigmatisasi dan mitos

Kusta adalah salah satu penyakit yang paling distigmatisasi di dunia. Mereka yang mengidap atau pernah mengidap kusta, termasuk mereka yang difabel karena kusta, kerap dikucilkan, ditolak hak asasinya, dan didiskriminasi. 

Tentu saja stigmasisasi kusta akan berdampak pada kesejahteraan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi para penderita kusta maupun mereka yang pernah mengidap kusta.

Video mengenai apa itu kusta

Stigmatisasi kusta tak terlepas dari masih adanya mitos-mitos yang terkait penyakit kusta. Beberapa mitos itu adalah sebagai berikut.

Mitos 1, kusta adalah penyakit kutukan akibat adanya dosa dan hukuman dari Tuhan. Faktanya, kusta hanyalah infeksi bakteri yang ditularkan dari lingkungan atau individu yang telah terjangkit. Kusta dapat menyerang siapa saja, tidak membeda-bedakan berdasarkan ras, jenis kelamin, kelas, usia, atau agama. Juga tidak ada hubungannya dengan kutukan atau dosa.

Mitos 2, kusta adalah penyakit yang menyerang orang tua. Faktanya, kusta dapat menyerang dan diidap siapa saja. Masa inkubasi yang lama dari bakteri penyebab kusta menyebabkan gejala mungkin baru terlihat jelas dalam waktu yang cukup lama. Ada kasus-kasus di mana seseorang terkena infeksi saat mulai dewasa dan gejala baru terlihat ketika ia mulai beranjak tua.

Mitos 3, kusta membuat bagian tubuh kita putus atau lepas. Faktanya, penyakit ini sendiri tidak menyebabkan bagian tubuh kita putus atau lepas. Yang dapat terjadi yaitu reaksi inflamasi parah yang disebabkan oleh luka yang tidak diobati, yang mungkin saja berujung pada amputasi.

Mitos 4, hanya orang miskin yang terkena kusta. Faktanya, kusta tidak membeda-bedakan tingkat ekonomi seseorang. Kusta lebih mudah menyerang individu dengan sistem kekebalan yang lemah. Mereka yang kaya maupun miskin dapat saja terkena kusta apabila kondisi kekebalan tubuhnya lemah. Meski demikian, menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 95% orang dewasa tidak dapat tertulari karena sistem kekebalan mereka umumnya dapat melawan bakteri penyebab kusta. 

Mitos 5, kusta tak dapat disembuhkan. Faktanya, kusta dapat disembuhkan dengan pengobatan yang dikenal sebagai terapi multi-obat alias multidrug therapy (MDT). Setelah seseorang menerima terapi multi-obat selama 72 jam, ia tidak akan lagi menularkan penyakitnya kepada orang lain.

Mitos 6, kita tidak boleh mendekati dan menyentuh penderita kusta atau bersalaman karena sangat menular. Karenanya, penderita kusta harus dijauhi, diisolasi, dan dikucilkan. Faktanya, bakteri penyebab kusta tidak mudah menular. Penularan hanya dapat terjadi pada saat kita bersama pengidap kusta dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, penyakit ini juga tidak akan ditularkan dari ibu kepada bayi yang dikandungnya.

Pada akhirnya, nol infeksi, nol penyakit, nol kecacatan, nol stigma, dan nol diskriminasi, sebagaimana yang ditargetkan WHO, tak akan berhasil dicapai sepanjang masih ada warga masyarakat yang mempercayai mitos-mitos yang terkait kusta. 

Oleh sebab itu, mitos-mitos terkait kusta perlu diruntuhkan. Caranya antara lain dengan diseminasi informasi terkait kusta. Diseminasi informasi ini bisa dilakukan antara lain via kanal media mainstream maupun kanal media sosial. Contohnya, seperti yang dilakukan oleh NLR Indonesia, yang memiliki proyek SUKA (Suara untuk Indonesia Bebas Kusta). Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik akan isu kusta dan sekaligus mendorong keterlibatan kelompok sasaran untuk mempromosikan isu kusta. 

Suara untuk Indonesia Bebas Kusta. Sumber gambar: nlrindonesia.or.id.

Proyek SUKA secara khusus menarget generasi X dan baby boomer. Kelompok ini diharapkan memahami isu kusta dan ikut menyosialisasikan kegiatan pengurangan stigma dan diskriminasi melalui platform media sosial yang mereka gandrungi.

NLR sendiri adalah sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan pertama kali di Belanda, pada tahun 1967, dengan tujuan untuk menanggulangi kusta dan konsekwensinya di seluruh dunia lewat pendekatan tiga zero, yaitu zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas), dan zero exclusion (nihil eksklusi).

Di Indonesia, NLR mulai beroperasi di tahun 1975. Pada 2018, NLR bertransformasi menjadi entitas nasional dengan maksud untuk membuat kerja-kerja  organisasi menjadi lebih efektif dan efisien menuju Indonesia bebas dari kusta.

Wilayah kerja NLR Indonesia yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.***

--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RISET DAN INOVASI

Mahasiswa UNAIR Ciptakan Inovasi untuk Pencegahan dan Pengendalian Diabetes   Tim mahasiswa Universitas Airlangga [UNAIR], Surabaya, Jawa T...