Laporan World Bank menyebutkan jumlah sampah padat yang diproduksi di kawasan perkotaan dewasa ini di seluruh dunia, rata-rata mencapai 2,01 miliar ton per tahun.
Sampah di TPA Sarimukti. Foto: Djoko Subinarto. |
Tanpa upaya sungguh-sungguh serta solusi jitu dalam tata kelola sampah, maka kota-kota di banyak belahan dunia dapat saja “tenggelam” dalam lautan sampah. Tak terkecuali kota-kota di negara kita.
Bukan cuma itu, kota-kota kita juga akan terus menjadi salah satu sumber emisi gas rumah kaca, yang menyebabkan temperatur Bumi kian meningkat. Pasalnya, sampah yang membusuk menghasilkan gas metana yang 87 kali lebih kuat daripada CO2.
Sejumlah sumber menyebut sampah menyumbang sekitar 20 persen emisi gas metana. Dan itu cukup berkontribusi dalam turut meningkatkan temperatur Bumi yang kita tinggali ini.
Seperti kita ketahui, tatkala sinar matahari mencapai Bumi, sebagian energinya diserap di permukaan Bumi dan dipancarkan kembali sebagai energi inframerah yang kita sebut panas. Nah, energi panas ini kembali ke atmosfer di mana gas rumah kaca, salah satunya adalah metana, menjebak energi ini dan mengirimkannya kembali ke semua penjuru Bumi.
Proses tersebut lazim disebut efek rumah kaca, yang membuat Bumi kian sulit menjadi lebih dingin. Seperti disebutkan di muka, sampah menjadi salah satu biang kerok bagi menumpuknya gas rumah kaca di atmosfer. Semakin banyak sampah yang kita buang ke TPA, maka semakin banyak metana yang dilepaskan, yang berarti semakin banyak pula tumpukan gas rumah kaca di atmosfer. Buntutnya, temperatur Bumi akan terus meningkat.
Proses tersebut lazim disebut efek rumah kaca, yang membuat Bumi kian sulit menjadi lebih dingin. Seperti disebutkan di muka, sampah menjadi salah satu biang kerok bagi menumpuknya gas rumah kaca di atmosfer. Semakin banyak sampah yang kita buang ke TPA, maka semakin banyak metana yang dilepaskan, yang berarti semakin banyak pula tumpukan gas rumah kaca di atmosfer. Buntutnya, temperatur Bumi akan terus meningkat.
Warga memungut sampah di TPA Sarimukti. Foto: Djoko Subinarto |
Terjadinya peningkatan suhu Bumi kemudian mengubah iklim global. Dari sinilah muncul istilah perubahan iklim alias climate change, yang ditandai antara lain dengan munculnya gelombang panas di lautan, kekeringan ekstrem, curah hujan yang lebih tinggi, naiknya permukaan laut serta munculnya badai dahsyat.
Kajian yang dilakukan US Geological Survey (USGS) menyimpulkan bahwa jika laju peningkatan temperatur Bumi ini tak bisa kita rem, maka seluruh permukaan laut akan bisa meningkat hingga 70 meter pada 200 tahun dari sekarang dan banjir dahsyat sudah pasti melanda kota-kota pesisir di planet ini.
Zero waste
Dengan mempertimbangkan dampak sampah yang dapat turut memperburuk pemanasan global, sejumlah pihak kini mendorong untuk dilakukannya pengelolaan sampah dengan mengadopsi program zero waste.
Zero waste
Dengan mempertimbangkan dampak sampah yang dapat turut memperburuk pemanasan global, sejumlah pihak kini mendorong untuk dilakukannya pengelolaan sampah dengan mengadopsi program zero waste.
Lewat program ini, rumahtangga didorong untuk mampu melakukan pemilahan sampah dari rumah masing-masing. Dengan demikian, sampah yang dihasilkan dari aktivitas rumahtangga tidak sepenuhnya harus berakhir di TPA sampah.
Selain itu, program zero waste diarahkan untuk menekan mahalnya biaya pengelolaan sampah, mengurangi kesenjangan antara timbulan sampah dan kurangnya persediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah, serta menyiasati pendeknya usia TPA sampah.
Hingga saat ini, sudah ada sejumlah wilayah di Indonesia yang mulai menjalankan program zero waste ini. Di antaranya Kota Bandung, Kota Denpasar, Kabupaten Gresik,Kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Purwakarta.
Sementara itu, pada tataran global, sejumlah pengelola kota telah menetapkan target untuk menjadikan kota mereka sebagai zero waste city antara tahun 2025 hingga 2040. Sebut saja Auckland (2040), Los Angeles (2025), San Diego (2040), Seattle (2025), dan Vancouver (2040).
Berdasarkan kajian C40 Knowledge Hub, kawasan kota akan mendapatkan keuntungan besar sekiranya mampu mewujud menjadi zero waste city. Apa saja keuntungannya?
Pertama, mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama metana, dan pencemaran. Sebagaimana kita ketahui, sampah, terutama sampah makanan, membusuk di tempat pembuangan dan dapat mencemari tanah dan air. Selain itu juga, seperti telah dipaparkan di muka, menghasilkan metana.
Kedua, menurunkan biaya pengelolaan sampah perkotaan, mengurangi timbulan sampah dan meningkatkan pola daur ulang. Umumnya, ruang untuk TPA kian berkurang dan penolakan terhadap fasilitas insinerasi juga meningkat. Banyak kota menghabiskan anggaran dalam jumlah besar, hanya untuk menemukan lokasi baru pembuangan sampah, yang usia pakainya juga relatif pendek.
Ketiga, peningkatan ketahanan pangan lokal dan ketahanan energi. Sampah organik dari rumah tangga yang dikelola dapat dimanfaatkan menjadi kompos yang menopang ketahanan pangan. Sementara jika diolah menjadi biogas akan menyokong ketahanan energi.
Keempat, menggerakkan pekerja lokal. Rata-rata, penerapan program zero waste dapat menciptakan lapangan kerja 10 kali lebih banyak ketimbang penanganan sampah dengan cara penimbunan atau pembakaran. Aktivitas pengumpulan, penyortiran, perawatan serta pemanfaatan sampah, bakal menyedot lebih banyak tenaga kerja lokal.
Kelima, melahirkan manfaat sosial. Inisiatif seperti proyek pengomposan yang dilakukan komunitas, atau program berbagi makanan untuk menghindari makanan menjadi basi dan terbuang demi menghindari munculnya sampah makanan, sebagai bagian dari program zero waste, bukan hanya memberi manfaat sosial bagi warga lokal, tetapi juga turut memperkuat kohesi sosial antar-komunitas.
Keenam, meningkatkan kesuburan tanah. Ketika sisa makanan dipisahkan dan diolah dan menghasilkan kompos serta meningkatkan kapasitas tanah untuk menarik CO2 dari atmosfer, maka itu berarti mengembalikan karbon ke tanah yang pada gilirannya membantu meningkatkan kesuburan tanah.
Ketujuh, mitigasi penipisan sumber daya. Delapan sumber daya mineral vital berisiko habis dalam rentang 100 tahun ke depan, termasuk tembaga, fosfor, dan aluminium. Dengan menerapkan program zero waste di lingkungan industri, diyakini dapat mengurangi risiko ini.
Menimbang sejumlah manfaatnya, program zero waste perlu menjadi opsi dalam pengelolaan sampah perkotaan di negeri ini. Untuk itu, roadmap alias peta jalan menuju zero waste city seyogiyanya perlu dibuat dan dimiliki oleh para pengelola kota-kota kita.***
--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar