Rabu, 16 Oktober 2024

Membangun Kolaborasi untuk Peningkatan Keanekaragaman Hayati Kawasan Urban

SALAH satu tantangan besar yang dihadapi kawasan perkotaan di masa depan adalah bagaimana menjaga dan meningkatkan aspek keanekaragaman hayati. Penambahan porsi ruang terbuka hijau (RTH) dan perbaikan kawasan lahan basah (wetlands) merupakan dua opsi yang bisa dipilih para pengelola kota dalam upaya menjaga dan meningkatkan keanekaragaman hayati di wilayah mereka. Dalam hal ini, pengelola kota dapat menjalin kolaborasi dengan korporasi yang memiliki program corporate social responsibility (CSR) yang terkait dengan keanekaragaman hayati. 

Sumber gambar: safeworldhse.com.

Seperti sama-sama kita ketahui, keberlangsungan hidup generasi mendatang bergantung salah satunya pada keanekaragaman hayati yang ada. Menjaga dan meningkatkan keanekaragaman hayati wajib kita lakukan untuk masa depan yang lebih baik. Tak terkecuali di kawasan perkotaan atau kawasan urban.

Saat ini, 50 persen populasi dunia bermukim di kawasan perkotaan. Dan diperkirakan, sepuluh hingga duapuluh tahun ke depan, persentase tersebut akan meningkat menjadi 68 hingga 75 persen. Artinya, mayoritas penduduk dunia akan bermukim di daerah perkotaan.

Persoalannya adalah: dengan pembangunan di kawasan perkotaan yang cenderung lebih mengedepankan aspek-aspek non-alami, maka timbul ancaman terkait rusaknya dan musnahnya keanekaragaman hayati. Belum lagi masalah perubahan iklim (climate change). Terus meningkatnya suhu Bumi yang mendorong makin seringnya terjadi kekeringan ekstrem maupun curah hujan yang sangat tinggi membuat makin seringnya terjadi bencana alam, yang pada gilirannya akan berimplikasi kepada rusaknya keanekaragaman hayati.

Padahal, keberlangsungan hidup kita bergantung salah satunya pada keanekaragaman hayati. Para pakar berpendapat, tanpa keanekaragaman hayati, tak akan ada masa depan bagi umat manusia.

Istilah keanekaragaman hayati pertama kali digunakan pada tahun 1986, saat digelarnya The National Forum on Biodiversity di Washington, Amerika Serikat (AS). Sejak itu, istilah ini luas digunakan, baik dalam beragam publikasi akademik maupun publikasi media secara umum. 

Secara sederhana, keanekaragaman hayati dapat dimaknai sebagai beragam kehidupan di Bumi, dalam segala bentuk dan interaksinya. 

Sementara itu, mengutip pendapat Currie & Bass (2010), Hui & Chan (2011) menulis bahwa keanekaragaman hayati adalah tingkat variasi bentuk kehidupan dalam ekosistem tertentu. 

Secara lebih formal, keanekaragaman hayati terdiri dari beberapa tingkatan, mulai dari gen, spesies individu, kemudian komunitas makhluk dan akhirnya seluruh ekosistem, seperti hutan atau terumbu karang, di mana kehidupan berinteraksi dengan lingkungan fisik. Interaksi yang tak terhitung jumlahnya ini telah membuat Bumi dapat dihuni selama miliaran tahun (Carrington, 2018).

Rusak dan hilangnya keanekaragaman hayati telah menjadi masalah global sejak beberapa puluh tahun belakangan ini. Lantaran kecenderungan sebagian besar populasi dunia akan terus mendiami kawasan-kawasan perkotaan, maka, mau tidak mau, perhatian kita perlu pula difokuskan pada keanekaragaman hayati di kawasan perkotaan. Jangan sampai keanekaragaman di daerah perkotaan kita bertambah rusak, apalagi sampai musnah.

Pola perencanaan kota dan desain arsitektur kota turut memegang peran kunci dalam ikut mengawal keanekaragaman hayati di perkotaan.

Berbagai penelitian menunjukkan, peningkatan keanekaragaman hayati perkotaan dapat memiliki konsekuensi positif bagi pelestarian lingkungan dan kesehatan lingkungan kota. 

Dalam karyanya bertajuk The Importance of Urban Biodiversity -- An Ecosystem Services Approach, Maibritt Pedersen Zari (2018) menyebut bahwa keanekaragaman hayati perkotaan memiliki dampak yang jelas pada kesehatan fisik manusia, kesehatan psikologis manusia, kesehatan sosial dan budaya, serta kesehatan dan stabilitas ekonomi.

Salah satu ikhtiar yang perlu dilakukan oleh para pengelola kota kita dalam menjaga dan meningkatkan keanekaragaman hayati kawasan perkotaan adalah dengan menambah porsi RTH.

Merujuk Pasal 29 ayat 2, Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit yaitu 30 persen dari luas wilayah kota. 

Namun, realitanya, tidak sedikit kota di negeri ini yang hanya memiliki RTH tak lebih dari 10 persen, bahkan kurang. Ambil contoh Jakarta. Dengan luas wilayah sekitar 661,5 kilometer persegi, Jakarta saat ini memiliki RTH seluas 62.181 kilometer persegi alias cuma 9,4 persen.

Membeli lahan

Untuk menambah porsi RTH ini, pengelola kota sesungguhnya bisa memanfaatkan dana khusus APBD untuk membeli sejumlah lahan yang kemudian dikonversi menjadi RTH.

Pengelolaan RTH ini bisa saja nantinya diserahkan kepada masyarakat terdekat. Dengan demikian, pemerintah kota hanya menyediakan lahan dan merancangnya untuk keperluan RTH. Adapun pengelolaan dan perawatan RTH sepenuhnya oleh warga sekitar. Selain untuk menjaga dan meningkatkan keanekaragaman hayati, RTH ini bisa dimanfaatkan warga untuk berbagai keperluan, mulai dari tempat bermain anak-anak, olahraga, rekreasi maupun untuk aktivitas-aktivitas sosial dan berkesenian warga.

Perluasan RTH ini juga dapat diupayakan dengan menerapkan sistem green roof yakni pembangunan lanskap vegetasi hijau di atap gedung atau rumah. Di sejumlah kota, green roof  telah terbukti mampu meningkatkan keanekaragaman hayati kawasan perkotaan secara signifikan.

Green Roof. Foto: housemethod.com via Properti Terkini.

Basel, Chicago, dan Singapura adalah beberapa contoh kota yang telah berhasil menjalankan sistem green roof dengan cukup baik, sehingga bukan saja membuat ketiga kota ini terlihat makin asri, tetapi juga kian meningkatkan keanekaragaman hayati di ketiga kota tersebut.

Lahan Basah

Selain memperbesar porsi RTH, perbaikan atau restorasi lahan-lahan basah (wetlands) perlu pula dilakukan, dalam upaya menjaga dan meningkatkan keanekaragaman hayati kawasan perkotaan ini dan sekaligus sebagai bagian dari adaptasi perubahan iklim. Lahan-lahan basah seperti rawa-rawa, kolam, situ, embung, dam, maupun daerah aliran sungai yang mengalami kerusakan wajib diperbaiki sehingga karakteristik dan fungsi lahan-lahan basah tersebut kembali prima.

Dengan demikian, selain mampu berkontribusi dalam mengendalikan banjir,  mengatasi kelangkaan air, dan mencegah wabah sejumlah penyakit, lahan-lahan basah itu juga dapat menjadi habitat berbagai spesies flora dan fauna.


Video kelas keanekaragaman hayati MSIG.

Di samping upaya perbaikan lahan-lahan basah, tak ada salahnya pula apabila pengelola kota mengkreasi lahan-lahan basah buatan. Hal ini mungkin perlu dilakukan untuk mengganti lahan-lahan basah yang telah hilang akibat dikonversi menjadi kawasan-kawasan terbangun.

Dalam upaya perluasan porsi RTH dan perbaikan lahan basah ini, pengelola kota bisa menjalin kolaborasi dengan korporasi yang memiliki program CSR yang terkait dengan keanekaragaman hayati. Contohnya MSIG, yang kini telah bermitra dengan Conservation International,  dan menyediakan dukungan untuk berbagai upaya konservasi keanekaragaman hayati di Asia Pasifik, yang menyokong kesejahteraan hidup jutaan orang melalui air, makanan, bahan bakar, obat-obatan, dan pengaturan iklim yang disediakan oleh ekosistem ini.

MSIG, yang merupakan perusahaan asuransi umum yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung atas kerusakan atau kerugian harta benda, sejauh ini telah pula secara aktif melakukan edukasi keanekaragaman hayati bagi siswa-siswi dengan menginisiasi program khusus bertajuk Biodiversity Fun Class bagi para siswa sekolah dasar terpilih di Jakarta, Bogor, dan Tangerang.

Lewat Biodiversity Fun Class, para siswa mempelajari tentang keberlanjutan dan konservasi alam. Mereka juga diajari tentang bagaimana dampak deforestasi di Indonesia melalui studi kasus tentang Suaka Margasatwa Paliyan, serta pentingnya melindungi keanekaragaman hayati dan perlunya mengurangi limbah dalam kehidupan sehari-hari.

Perusahaan asuransi umum yang memiliki motto "Insurance that Sees the Heart in Everythingini sepenuhnya percaya bahwa kebutuhan untuk melindungi keanekaragaman hayati di Bumi ini bersifat fundamental, bukan hanya untuk masa depan Bumi, tetapi juga untuk diri kita sendiri dan generasi-generasi mendatang demi memastikan kehidupan yang berkelanjutan.***

--



Minggu, 14 Januari 2024

Program Zero Waste dan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

Laporan World Bank menyebutkan jumlah sampah padat yang diproduksi di kawasan perkotaan dewasa ini di seluruh dunia, rata-rata mencapai 2,01 miliar ton per tahun.

Sampah di TPA Sarimukti. Foto: Djoko Subinarto.

Bila di masa depan penduduk dunia diasumsikan bermukim di perkotaan meningkat antara 68 hingga 75 persen, maka jumlah produksi sampahnya tahun 2050 akan melonjak menjadi 3,4 miliar per tahun.

Tanpa upaya sungguh-sungguh serta solusi jitu dalam tata kelola sampah, maka kota-kota di banyak belahan dunia dapat saja “tenggelam” dalam lautan sampah. Tak terkecuali kota-kota di negara kita. 

Bukan cuma itu, kota-kota kita juga akan terus menjadi salah satu sumber emisi gas rumah kaca, yang menyebabkan temperatur Bumi kian meningkat. Pasalnya, sampah yang membusuk menghasilkan gas metana yang 87 kali lebih kuat daripada CO2.

Sejumlah sumber menyebut sampah menyumbang sekitar 20 persen emisi gas metana. Dan itu cukup berkontribusi dalam turut meningkatkan temperatur Bumi yang kita tinggali ini.

Seperti kita ketahui, tatkala sinar matahari mencapai Bumi, sebagian energinya diserap di permukaan Bumi dan dipancarkan kembali sebagai energi inframerah yang kita sebut panas. Nah, energi panas ini kembali ke atmosfer di mana gas rumah kaca, salah satunya adalah metana, menjebak energi ini dan mengirimkannya kembali ke semua penjuru Bumi.

Proses tersebut lazim disebut efek rumah kaca, yang membuat Bumi kian sulit menjadi lebih dingin. Seperti disebutkan di muka, sampah menjadi salah satu biang kerok bagi menumpuknya gas rumah kaca di atmosfer. Semakin banyak sampah yang kita buang ke TPA, maka semakin banyak metana yang dilepaskan, yang berarti semakin banyak pula tumpukan gas rumah kaca di atmosfer. Buntutnya, temperatur Bumi akan terus meningkat.
Warga memungut sampah di TPA Sarimukti. Foto: Djoko Subinarto
Terjadinya peningkatan suhu Bumi kemudian mengubah iklim global. Dari sinilah muncul istilah perubahan iklim alias climate change, yang ditandai antara lain dengan munculnya gelombang panas di lautan, kekeringan ekstrem, curah hujan yang lebih tinggi, naiknya permukaan laut serta munculnya badai dahsyat.

Kajian yang dilakukan US Geological Survey (USGS) menyimpulkan bahwa jika laju peningkatan temperatur Bumi ini tak bisa kita rem, maka  seluruh permukaan laut akan bisa meningkat hingga 70 meter pada 200 tahun dari sekarang dan banjir dahsyat sudah pasti melanda kota-kota pesisir di planet ini.

Zero waste
Dengan mempertimbangkan dampak sampah yang dapat turut memperburuk pemanasan global, sejumlah pihak kini mendorong untuk dilakukannya pengelolaan sampah dengan mengadopsi program zero waste.

Lewat  program ini, rumahtangga didorong untuk  mampu melakukan pemilahan sampah dari rumah masing-masing. Dengan demikian, sampah yang dihasilkan dari aktivitas rumahtangga tidak sepenuhnya harus berakhir di TPA sampah.

Selain itu, program zero waste diarahkan untuk menekan mahalnya biaya pengelolaan sampah, mengurangi kesenjangan antara timbulan sampah dan kurangnya persediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah, serta menyiasati pendeknya usia TPA sampah.

Hingga saat ini, sudah ada sejumlah wilayah di Indonesia yang mulai menjalankan program zero waste ini. Di antaranya Kota Bandung, Kota Denpasar, Kabupaten Gresik,Kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Purwakarta.

Sementara itu, pada tataran global, sejumlah pengelola kota telah menetapkan target untuk menjadikan kota mereka sebagai zero waste city antara tahun 2025 hingga 2040. Sebut saja Auckland (2040), Los Angeles (2025), San Diego (2040),  Seattle (2025), dan Vancouver (2040).

Berdasarkan kajian C40 Knowledge Hub, kawasan kota akan mendapatkan keuntungan besar sekiranya mampu mewujud menjadi zero waste city. Apa saja keuntungannya?

Pertama, mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama metana, dan pencemaran. Sebagaimana kita ketahui, sampah, terutama sampah makanan, membusuk di tempat pembuangan dan dapat mencemari tanah dan air. Selain itu juga, seperti telah dipaparkan di muka, menghasilkan metana.

Kedua, menurunkan biaya pengelolaan sampah perkotaan, mengurangi timbulan sampah dan meningkatkan pola daur ulang. Umumnya, ruang untuk TPA kian berkurang dan penolakan terhadap fasilitas insinerasi juga meningkat. Banyak kota menghabiskan anggaran dalam jumlah besar, hanya untuk menemukan lokasi baru  pembuangan sampah, yang usia pakainya juga relatif pendek.

Ketiga, peningkatan ketahanan pangan lokal dan ketahanan energi. Sampah organik dari rumah tangga yang dikelola dapat dimanfaatkan menjadi kompos yang menopang ketahanan pangan. Sementara jika diolah menjadi biogas akan menyokong ketahanan energi.

Keempat, menggerakkan pekerja lokal. Rata-rata, penerapan program zero waste dapat menciptakan lapangan kerja 10 kali lebih banyak ketimbang penanganan sampah dengan cara penimbunan atau pembakaran. Aktivitas pengumpulan, penyortiran, perawatan serta pemanfaatan sampah, bakal menyedot lebih banyak tenaga kerja lokal.
Truk pengakut sampah menuju TPA. Foto: Djoko Subinarto.
Kelima, melahirkan manfaat sosial. Inisiatif seperti proyek pengomposan yang dilakukan komunitas, atau program berbagi makanan untuk menghindari makanan menjadi basi dan terbuang demi menghindari munculnya sampah makanan, sebagai bagian dari program zero waste, bukan hanya memberi manfaat sosial bagi warga lokal, tetapi juga turut memperkuat kohesi sosial antar-komunitas.

Keenam, meningkatkan kesuburan tanah. Ketika sisa makanan dipisahkan dan diolah dan menghasilkan kompos serta meningkatkan kapasitas tanah untuk menarik CO2 dari atmosfer, maka itu berarti mengembalikan karbon ke tanah yang pada gilirannya membantu meningkatkan kesuburan tanah.

Ketujuh, mitigasi penipisan sumber daya. Delapan sumber daya mineral vital berisiko habis dalam rentang 100 tahun ke depan, termasuk tembaga, fosfor, dan aluminium. Dengan menerapkan program zero waste di lingkungan industri, diyakini dapat mengurangi risiko ini.

Menimbang sejumlah manfaatnya, program zero waste perlu menjadi opsi dalam pengelolaan sampah perkotaan di negeri ini. Untuk itu, roadmap alias peta jalan menuju zero waste city seyogiyanya perlu dibuat dan dimiliki oleh para pengelola kota-kota kita.***
--

CitraLand City Sampali, Proyek Perumahan Mewah di Medan dengan Return Investasi Menjanjikan

MEDAN kini bukan hanya kota dagang dan budaya, tetapi juga magnet baru bagi para investor properti. Salah satu buktinya adalah meningkatnya ...